Pemayung.id — Provinsi kaya sumber daya alam yang dijuluki “Surga Batubara” oleh para pengusaha dan pejabat—nyatanya menyimpan cerita kelam yang tak terungkap ke publik luas.
Di balik gemerlap investasi dan angka produksi tambang yang fantastis, terhampar wajah suram karut marut tata kelola tambang batubara yang mengoyak hak-hak rakyat dan menghancurkan lingkungan.
Dari proses perizinan yang sarat kepentingan, pelanggaran lingkungan yang sistemik, hingga konflik sosial berkepanjangan, industri batubara di Jambi seolah berjalan tanpa kontrol—sebuah ‘kerajaan’ yang dibangun di atas penderitaan warga dan kerusakan alam.
Aur Kenali: “Kami Korban, Bukan Objek Investasi!,”
Aur Kenali sebuah kawasan pemukiman di Kota Jambi, kini menjadi korban nyata dari ambisi para konglomerat tambang. PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) tengah memaksa membangun jalan khusus angkutan batubara yang melintas persis di belakang rumah-rumah warga. Tak hanya itu, terminal dan stockpile batubara pun diproyeksikan hadir di lingkungan yang semestinya nyaman bagi keluarga.
Ancaman yang membayang nyata: banjir akibat perubahan tata air, retaknya rumah-rumah akibat getaran truk raksasa yang lalu-lalang, serta ancaman kesehatan dari debu batubara yang beterbangan.
“Kami bukan penghalang pembangunan, tapi kami juga bukan objek investasi yang bisa dikorbankan seenaknya,” tegas Mahfudin, Ketua RT03 Aur Kenali, dengan mata berkaca-kaca.
Suara mereka, bagai diteriakkan di tengah gurun, nyaris tak didengar pemerintah dan pengusaha. Bahkan ketika warga secara tegas menolak, upaya dialog sering kandas oleh dominasi kepentingan bisnis yang mengakar kuat di pemerintahan daerah.
Ade Erlanda dan “Kerajaan” Batubara yang Tak Tersentuh Hukum
Ade Erlanda adalah nama yang tak asing di balik layar industri batubara Jambi. Pendiri sekaligus mantan Ketua Perkumpulan Pengusaha Tambang Batubara (PPTB), Ade disebut sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh yang menjaga agar roda tambang tetap berputar tanpa hambatan hukum.
Praktik bisnisnya yang melebar ke berbagai perusahaan tambang dan pengangkutan batubara memperlihatkan bagaimana oligarki tambang bercokol di Jambi. Di balik senyum ramah dan acara amal yang dibingkai, terselip kepentingan ekonomi dan politik yang saling menguntungkan.
Keterkaitan Ade dengan elit politik, termasuk hubungan dengan Gubernur Jambi Al Haris yang ‘terlihat dekat’ secara sosial, menimbulkan tanda tanya besar mengenai netralitas aparat dalam mengawasi industri ini.
Ketika pengaduan masyarakat terhadap pencemaran dan pelanggaran tambang tak pernah berujung pada penegakan hukum tegas, dugaan kongkalikong antara korporasi dan aparat negara kian menguat.
Limbah Beracun dan Derita Suku Anak Dalam: “Mereka Mati dalam Diam”
Bukan hanya warga perkotaan yang menjadi korban, tetapi juga Suku Anak Dalam yang tinggal di sekitar tambang. Mereka yang seharusnya hidup selaras dengan alam kini terjebak dalam jeratan limbah beracun.
PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM), pemasok batubara untuk PLTU PLN, terbukti mencemari sungai yang menjadi sumber kehidupan suku ini. Pada 6 Maret 2025, kolam limbah tambang jebol dan mengalir langsung ke sungai, memicu wabah diare dan penyakit lain yang merenggut nyawa anak-anak mereka.
Catatan kematian anak-anak suku ini akibat minum air tercemar bukanlah satu-dua kasus. Sejak 2019, puluhan warga Suku Anak Dalam meninggal dunia akibat dampak limbah tambang. Namun, hingga kini tidak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab.
Direktur teknis BBMM, Eko Hadi Irawan, yang juga memiliki saham mayoritas bersama Ade Erlanda di perusahaan lain, bungkam saat dimintai konfirmasi. Keheningan ini seperti cermin dari sikap korporasi yang mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Pengangkutan Batubara: Infrastruktur Rusak, Warga Tersiksa
Ribuan truk batubara yang melintasi jalan umum telah membuat kemacetan parah dan kerusakan jalan yang sulit diatasi. Pemerintah memperkirakan ada 12.123 truk batubara yang beroperasi tiap hari, menjadikan jalan Sarolangun, Tembesi, Kota Jambi, hingga Pelabuhan Talang Duku seperti “parkiran raksasa” yang menyesakkan aktivitas warga.
Konflik antara sopir truk dan warga tidak dapat dielakkan. Di saat yang sama, kerusakan infrastruktur seperti jembatan Muara Tembesi dan Gentala Arasy menjadi korban tabrakan tongkang batubara yang kerap terjadi.
Biaya perbaikan yang mencapai miliaran rupiah malah menjadi beban masyarakat dan pemerintah, sementara PPTB yang memungut iuran dari pengusaha tambang tak pernah transparan mengelola dana tersebut.
Pemerintah dan Aparat: Lemah atau Terlibat?
Instruksi Gubernur Jambi untuk melarang angkutan batubara lewat jalur darat tahun 2024 tampak seperti langkah tegas, tetapi kenyataannya jauh dari solusi. Angkutan dialihkan ke sungai, namun kecelakaan tongkang yang merusak jembatan justru makin sering terjadi.
Pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang tumpul membuka peluang bagi pelanggaran berulang, menimbulkan pertanyaan apakah aparat sebenarnya bersikap netral atau justru terjebak dalam lingkaran bisnis dan politik tambang.
“Kalau aparat serius, tak perlu ada yang ditutup-tutupi. Tapi kenyataan di lapangan, hukum sering dibuat main-main,” ujar Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau.
Pungutan Liar dan Politik Tambang: “Rakyat Dibayar dengan Debu dan Kemacetan”
Dari sisi pengelolaan angkutan, muncul pungutan liar ‘katanya’ Rp50.000 per sopir batubara yang dipungut oleh Asosiasi Transportir Jambi (ATJ) di bawah tekanan pengusaha tambang. Pelaporan pungutan ini ke polisi justru berujung ketegangan dan kekisruhan internal, tanpa penyelesaian tuntas.
Ketua PPTB saat ini, Asnawi Abdul Rahman, bukan sosok asing dalam pusaran politik. Ia juga Ketua Relawan Keluarga Haji Al Haris-Sani Mantap, tim pemenangan gubernur, mempertegas bagaimana politik dan tambang begitu erat berkelindan.
Ketika kekuatan politik dan ekonomi saling menopang, siapa yang bisa membela rakyat kecil yang terus-menerus menjadi korban?
Saatnya Bangkit dari Kepungan Kepentingan Gelap
Jambi kini menghadapi dilema besar: apakah akan terus menjadi ‘ladang emas’ bagi segelintir pengusaha tambang yang meraup untung besar sambil mengebiri hak rakyat dan merusak alam? Ataukah pemerintah dan masyarakat bersatu, menuntut tata kelola yang bersih, adil, dan berkelanjutan?
Karut marut tambang batubara bukan hanya persoalan teknis, tapi juga persoalan keadilan sosial dan kemanusiaan. Selama korporasi dan aparat berjalan dalam simbiosis penuh konflik kepentingan, maka penderitaan rakyat dan kerusakan lingkungan akan terus berulang tanpa akhir. Pertanyaannya, kapan suara rakyat dan alam akan didengar? (TIM)