Pemayung.id – Di balik tumpukan batu bara yang ditambang dari perut bumi Jambi, tersimpan jejak panjang luka sosial, kehancuran ekologis, dan permainan kuasa yang membuat hukum seolah hanya berlaku bagi rakyat kecil.
Selama lebih dari dua dekade, tambang batubara telah menjadi tulang punggung ekonomi Jambi. Data Kementerian ESDM menunjukkan, provinsi ini menyumbang sekitar 6% dari total produksi batubara nasional. Pada 2024, lebih dari 35 juta ton batubara keluar dari Jambi—naik drastis dibanding satu dekade lalu. Namun, di saat neraca ekspor menunjukkan surplus, neraca lingkungan dan sosial justru mencatat defisit yang kian dalam.
“Dari hulu ke hilir, semua bermasalah. Izin dikeluarkan sembarangan, pengawasan longgar, pelanggaran dibiarkan, dan rakyat selalu jadi tumbal,” kata seorang pejabat Pemerintah Provinsi Jambi yang meminta namanya tidak disebut demi alasan keamanan.
Sumber ini menyebut, ada tekanan politik yang sangat kuat untuk “tidak mengganggu” jalannya aktivitas tambang, terutama milik pengusaha yang terhubung dengan elite daerah. Beberapa perusahaan bahkan diketahui memulai operasi sebelum izin lengkap dikantongi. Namun, aparat dan pengawas lingkungan disebut-sebut hanya bisa “menonton” atau “mencatat tanpa bisa bertindak”.
Jambi menjadi cerminan sempurna dari bagaimana tata kelola tambang batubara di Indonesia masih berantakan. Perizinan sering diberikan tanpa kajian menyeluruh, lokasi tambang tumpang tindih dengan hutan lindung, area konsesi menyerobot wilayah adat dan ruang hidup masyarakat lokal, dan proses pengangkutan batubara menimbulkan kemacetan, kecelakaan, hingga perusakan infrastruktur.
Akibat eksploitasi brutal ini, sejumlah kawasan di Jambi, seperti Sarolangun, Batanghari, dan Bungo, berubah dari daerah agraris menjadi kawasan industri ekstraktif yang dipenuhi lubang tambang menganga, limbah beracun, dan masyarakat yang kehilangan akses ke air bersih, lahan pertanian, bahkan udara layak.
“Jambi bukan lagi tempat tinggal, tapi sudah berubah jadi lintasan truk tambang,” kata seorang aktivis lingkungan yang telah lebih dari 10 tahun mendampingi warga terdampak tambang. Ia mengaku pernah mendapat intimidasi setelah mendokumentasikan pembuangan limbah batubara ke sungai oleh salah satu perusahaan besar.
Ironisnya, meski perusahaan meraup triliunan dari hasil tambang, sebagian besar daerah penghasil tetap berada dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Data BPS Provinsi Jambi tahun 2025 mencatat, lebih dari 43% penduduk di sekitar kawasan tambang hidup di bawah garis kemiskinan relatif, dan hampir 70% dari mereka tidak memiliki akses air bersih.
Sementara itu, suara protes masyarakat kerap diredam dengan dalih “investasi strategis” dan janji-janji pembangunan. Padahal, banyak dari janji tersebut hanya tinggal di atas kertas. Yang tersisa hanyalah jalan rusak, udara penuh debu, air tercemar, dan generasi muda yang tumbuh di tengah ketidakpastian.
Di Kota Jambi, protes terbaru datang dari warga Aur Kenali. Mereka menolak rencana PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) membangun jalan hauling batubara dan terminal stockpile tepat di belakang rumah warga. Warga takut, lingkungan mereka akan menjadi titik baru bencana ekologis.
Ancaman kebisingan, getaran truk yang menggerus pondasi rumah, serta debu batubara yang berterbangan sudah cukup membuat kehidupan mereka tercekik, bahkan sebelum proyek benar-benar berjalan.
“Kalau pemerintah bilang ini demi pembangunan, kami bertanya: pembangunan untuk siapa? Kami tinggal di sini, tapi tak pernah diajak bicara,” ujar Mahfudin, Ketua RT03 Aur Kenali, saat ditemui tim investigasi.
Masalah di Aur Kenali hanyalah permukaan. Di bawahnya, mengendap persoalan yang jauh lebih besar: bagaimana korporasi tambang bisa mengendalikan kebijakan, membungkam kritik, dan mengatur ritme hukum.
Sejumlah dokumen internal yang diperoleh tim investigasi menunjukkan bahwa beberapa perusahaan besar di Jambi aktif menjalin kerja sama informal dengan pejabat lokal dan oknum aparat untuk memuluskan perizinan, menghindari audit lingkungan, hingga membatasi akses wartawan dan LSM.
“Kita dikasih tahu supaya jangan ‘ngusik’ lokasi tertentu. Sudah ada yang ‘atur’,” kata seorang sumber yang tidak ingin identitasnya dicantumkan.
Di sisi lain, lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan kerap hanya bergerak di permukaan. Banyak laporan pencemaran lingkungan dan pelanggaran reklamasi yang hanya berakhir di meja mediasi, bukan di ruang sidang.
Ini bukan sekadar kelalaian birokratis. Ini adalah sistem yang telah tumbuh dan membusuk dalam diam—di mana rakyat ditindas demi energi murah, dan lingkungan dikorbankan demi proyek-proyek yang katanya ‘strategis nasional’(TIM).