Daerah  

Jejak Kuasa dan Tambang Batu Bara Jambi : Warisan Politik, Bisnis, dan Penderitaan Rakyat (Bagian Ketiga)

Pemayung.id – Tata kelola tambang batubara di Jambi seperti simpul benang kusut yang tak kunjung diurai. Di balik jejak truk-truk tambang yang berderet sepanjang ratusan kilometer dan tongkang-tongkang yang hilir-mudik di Sungai Batanghari, terselip kisah tentang bagaimana jaringan kekuasaan politik bersenyawa erat dengan gurita bisnis batubara. Dua nama mencuat dalam pusaran ini: Hasan Basri Agus (HBA), mantan Gubernur Jambi yang kini menjadi anggota DPR RI, dan Al Haris, Gubernur Jambi saat ini.

Warisan Jalan Tambang dari Era HBA

Hasan Basri Agus, Gubernur Jambi periode 2010–2015, bukanlah nama asing dalam peta kuasa pertambangan Jambi. Di masa kepemimpinannya, diskursus tentang pembangunan jalan khusus angkutan batubara mulai mengemuka sebagai solusi dari kemacetan akibat truk batubara yang menjejali jalan umum. Namun, di balik narasi pembangunan itu, terbuka pula ruang bagi percepatan ekspansi tambang dan penguatan aktor-aktor bisnis baru.

Banyak pihak menduga, kebijakan membuka ruang infrastruktur tambang sejak era HBA justru menjadi pintu masuk terbentuknya sistem yang memanjakan pengusaha tambang—termasuk mereka yang kini menguasai mayoritas jalur distribusi batubara Jambi. Salah satu nama penting yang muncul kemudian adalah Ade Erlanda, pengusaha tambang yang menjelma jadi tokoh sentral bisnis batubara Jambi. Ia adalah pemilik PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) dan PT Anugrah Muda Berkarya (AMB).

Kedekatan antara HBA dan Ade Erlanda pun terekam dalam simbol-simbol publik. Pada April 2023, HBA hadir dalam acara ulang tahun Ade, yang dikemas sebagai santunan anak yatim. Juga tampak di sana: Hesti Haris, istri Gubernur Al Haris. Bagi sebagian orang, ini hanya silaturahmi biasa. Namun bagi yang membaca pola kuasa, momen-momen seperti ini adalah penanda penting keterhubungan elite politik dan pengusaha tambang.

Al Haris dan Pewarisan Jaringan

Memasuki periode kepemimpinan Al Haris, dinamika pertambangan bukannya membaik, malah kian menajam. Masalah kemacetan kronis akibat 12.000 lebih truk batubara yang melintas tiap hari membuat pemerintah provinsi mengambil kebijakan ekstrem: melarang seluruh angkutan batubara melalui jalur darat sejak awal 2024, dan memindahkannya ke jalur sungai.

Namun, kebijakan ini memantik kecurigaan. Pasalnya, Ade Erlanda dan perusahaan tambangnya sudah lebih dahulu mengoperasikan pengangkutan via sungai. Sekali angkut, tongkangnya bisa memuat hingga 2.000 ton batubara—setara 200 truk. Seolah-olah, kebijakan larangan jalur darat justru menguntungkan pihak-pihak yang sudah siap di jalur sungai, meminggirkan pengusaha kecil, dan merugikan ribuan sopir yang kehilangan mata pencaharian.

Kedekatan antara Al Haris dan lingkaran pengusaha tambang makin terlihat dengan naiknya Asnawi Abdul Rahman sebagai Ketua Perkumpulan Pengusaha Tambang Batubara (PPTB) menggantikan Ade Erlanda. Asnawi bukan nama asing: dia adalah Ketua Relawan Haris–Sani saat Pilkada 2024, sekaligus Direktur Logistik tim pemenangan. Tak heran bila publik melihat ini sebagai pewarisan sistem lama dalam baju baru.

Lemahnya Penegakan Hukum

Dalam konteks penegakan hukum, kisah BBMM—perusahaan tambang yang diduga mencemari lingkungan dan berdampak fatal bagi komunitas Suku Anak Dalam (SAD)—menjadi contoh nyata ketimpangan. Limbah tambang diduga mencemari sungai, menyebabkan diare, bahkan kematian warga SAD. Namun, proses hukum tak berjalan tegas. Kepolisian berdalih bahwa izin perusahaan masih aktif dan belum ada sanksi administratif dari pemerintah daerah. Sikap lembek aparat ini memperkuat dugaan bahwa pengusaha tambang besar seolah kebal hukum.

Feri Irawan dari Perkumpulan Hijau menegaskan bahwa ini bukan sekadar kasus pencemaran, tetapi pengabaian terhadap ruang hidup masyarakat adat, dan bentuk nyata kolusi antara pengusaha dan pejabat.

Politik Tambang: Rakyat sebagai Korban Abadi

Di tengah konflik kuasa dan kepentingan, masyarakat tetap menjadi korban utama. Warga Aur Kenali, misalnya, menolak rencana pembangunan jalan khusus batubara dan TUKSnya yang melintasi dan dekat dengan pemukiman oleh PT SAS. Mereka khawatir rumah mereka retak akibat getaran truk, anak-anak tumbuh dengan ancaman penyakit kronis dalam dan paparan debu batubara , serta bahaya banjir mengintai karena terganggunya aliran air.

“Kami akan dikorbankan demi investasi,” kata Mahfudin, Ketua RT03 Aur Kenali.

Pernyataan Mahfudin mencerminkan ironi besar: bahwa atas nama “solusi”, pemerintah justru menciptakan penderitaan baru bagi rakyat. Di atas kertas, jalur khusus batubara adalah bentuk modernisasi logistik. Namun di lapangan, tanpa kontrol yang transparan dan akuntabel, ia menjadi instrumen represi baru terhadap warga.

Jambi bukan sekadar kisah tambang. Ia adalah potret bagaimana kekuasaan yang dibungkus narasi pembangunan bisa berkelindan dengan kepentingan bisnis, menyisakan luka bagi rakyat kecil dan lingkungan yang rusak.

Jejak Hasan Basri Agus dalam merintis ruang bagi tambang, dan peran Al Haris dalam melanggengkannya, menunjukkan bahwa politik dan tambang adalah dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan di provinsi ini.

Selama jaringan ini tak diurai, dan relasi kuasa tak digugat, maka Jambi akan terus menjadi ladang emas bagi segelintir orang—dan kuburan bagi harapan rakyat yang terpinggirkan (TIM).