Oleh: Novita Sari Yahya
(Penulis dan Peneliti)
MEDIA sosial diramaikan oleh kemunculan sekelompok perempuan dalam aksi demonstrasi yang berlangsung antara 25 hingga 31 Agustus 2025 lalu.
Topik ini menjadi trending karena menampilkan wajah-wajah perempuan yang berani, penuh semangat, dan beragam dalam latar belakang serta perjuangannya.
Dua momen mencolok yang menjadi sorotan adalah kehadiran seorang ibu yang gagah memegang bendera Merah Putih di hadapan aparat bertameng dan orasi Lisa Mariana di tengah kerumunan demonstran.
Ibu dengan Bendera Merah Putih: Simbol Ketangguhan “Mak-Mak”
Salah satu gambar yang viral adalah seorang ibu yang berdiri tegap dengan bendera Merah Putih di tangan, berhadapan langsung dengan barisan aparat keamanan. Dengan gaya orasi khas “mak-mak” yang penuh semangat, ia dijuluki sebagai representasi “ras terkuat di dunia” oleh warganet.
Keberaniannya menggambarkan kekuatan perempuan akar rumput yang tak gentar menghadapi otoritas. Dalam budaya Indonesia, ungkapan “surga di bawah telapak kaki ibu” seolah menjadi alasan mengapa aparat cenderung mengalah ketika berhadapan dengan rombongan ibu-ibu.
Momen ini bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga cerminan ketangguhan perempuan dalam menghadapi tekanan sosial dan politik.
Lisa Mariana: Resistensi di Tengah Kontroversi
Pemandangan lain yang menarik perhatian adalah kemunculan Lisa Mariana, seorang figur publik yang ikut berorasi di tengah demonstrasi.
Kehadirannya memicu pertanyaan, termasuk spekulasi tentang apa yang mungkin dipikirkan oleh Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, melihat Lisa Mariana tampil vokal di tengah aksi.
Terlepas dari kontroversi pribadi yang melibatkan Lisa Mariana dan Ridwan Kamil—terkait tuduhan skandal dan tes DNA seorang anak perempuan—kehadiran Lisa menambah dimensi baru dalam diskusi tentang perempuan di ruang publik.
Ia mewakili perempuan yang berjuang untuk eksis di tengah stigma dan tekanan sosial, meskipun caranya sering kali kontroversial, seperti desakan untuk mendapatkan dukungan finansial dari Ridwan Kamil.
Dinamika Perempuan: Akar Rumput vs Elite
Persoalan yang dihadapi perempuan dari kelompok rakyat kecil berbeda jauh dengan perempuan dari kalangan elite. Perempuan akar rumput berhadapan dengan isu-isu berat seperti kekerasan di jalanan, penelantaran, pernikahan dini, perceraian di usia muda, dan upah buruh yang rendah.
Sementara itu, perempuan yang dianggap elit, seperti figur publik yang kerap memamerkan gaya hidup mewah, juga menghadapi kekerasan berlapis—meskipun sering kali tidak disadari—seperti tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial atau stigma atas pilihan hidup mereka.
Ibuisme Orde Baru dan Kontrol atas Perempuan
Ideologi ibuisme yang diperkenalkan pada era Orde Baru menempatkan perempuan dalam lima peran utama: istri, ibu, pengelola rumah tangga, pendidik anak, dan anggota masyarakat.
Namun, struktur ini menciptakan hierarki sosial yang menempatkan perempuan miskin dan single parent di lapisan terbawah. Mereka menghadapi diskriminasi, stereotip, pelabelan, dan marginalisasi.
Sementara itu, negara, melalui ideologi ibuisme, mengontrol perilaku perempuan untuk memenuhi citra “ideal,” tetapi sering kali mengabaikan perilaku maskulinitas toksik dan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Solusi: Pendidikan Gender dan Ketahanan Keluarga
Untuk mengatasi dinamika kompleks ini, pemerintah perlu mengambil langkah proaktif. Pendidikan kesetaraan gender harus menjadi bagian dari kebijakan publik, termasuk melalui program pendidikan calon pengantin (catin) dan pendidikan berkelanjutan yang menyasar seluruh lapisan masyarakat di semua siklus hidup.
Program ini harus mencakup pemahaman tentang peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, serta bagaimana membangun hubungan yang setara dan saling menghormati.
Selain itu, pemerintah perlu merancang program ketahanan keluarga Indonesia yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, perlindungan terhadap kekerasan, dan peningkatan literasi ekonomi serta sosial. Dengan pendekatan ini, perempuan dari berbagai latar belakang—baik akar rumput maupun elite—dapat memiliki ruang untuk berkembang tanpa terjebak dalam stigma atau ekspektasi yang tidak realistis.
Kesimpulan
Kemunculan perempuan dalam demonstrasi 25-31 Agustus 2025, dari ibu dengan bendera Merah Putih hingga Lisa Mariana, adalah cerminan perjuangan dan resistensi perempuan Indonesia dalam berbagai lapisan sosial.
Mereka menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya pelaku sejarah, tetapi juga agen perubahan yang mampu menantang kemapanan. Namun, tanpa dukungan sistemik dari negara—melalui pendidikan, kebijakan inklusif, dan penghapusan diskriminasi—perjuangan mereka akan terus menghadapi tantangan.
Saatnya pemerintah mengambil langkah nyata untuk mendukung ketahanan keluarga Indonesia. *)