opini  

Perpres Penertiban Kawasan Hutan Bukan Ancaman Bagi Petani, Tapi Jalan Menuju Keadilan Ekologis

Oleh: Jefri Bintara Pardede, Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi

 

Penertiban kawasan hutan kembali menjadi perbincangan hangat, terutama setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Tidak sedikit opini publik yang memunculkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, bahwa kebijakan ini akan berdampak pada petani kecil dan masyarakat adat. Namun, bila kita melihat secara jernih, regulasi ini justru lahir sebagai bagian dari koreksi struktural untuk menciptakan keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan hidup—bukan sebagai alat represif negara.

*Bukan Alat Represif, Tapi Langkah Korektif*

Perpres 5/2025 bukanlah produk hukum yang lahir untuk menakut-nakuti rakyat kecil. Ia merupakan respons atas belum tuntasnya`masa lalu dalam menertibkan penguasaan kawasan hutan secara ilegal oleh korporasi besar dan aktor-aktor yang selama ini menikmati keuntungan dari kekosongan penegakan hukum.

Regulasi ini menyasar pelanggaran skala besar, terutama penggunaan kawasan hutan produksi dan lindung untuk kepentingan industri sawit dan pertambangan tanpa izin kehutanan yang sah. Fokus utama dari Satgas PKH adalah pada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan kawasan hutan secara melanggar hukum. Ini sesuai dengan semangat penegakan hukum dan pelestarian lingkungan, sebagaimana termuat dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta Pasal 110A dan 110B dari UU Cipta Kerja.

*Petani Kecil Bukan Target*

Masyarakat yang mengelola lahan kecil, seperti petani sawit dengan lahan di bawah 5 hektare, bukanlah target kebijakan ini. Bahkan, pemerintah melalui berbagai mekanisme—termasuk program perhutanan sosial dan legalisasi akses lahan—berkomitmen memberikan perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat yang selama ini secara tradisional mengelola lahan di sekitar kawasan hutan.

Satgas PKH justru diharapkan mampu memilah secara cermat antara pelanggar besar dan masyarakat kecil. Dalam konteks Jambi, di mana konflik agraria dan klaim kawasan hutan sering tumpang tindih, kehadiran Satgas PKH adalah momentum untuk mengurai persoalan yang selama ini membelit dan memperlebar jurang ketimpangan akses lahan.

*Keadilan Ekologis dan Sosial*

Penting untuk kita sadari bahwa penertiban kawasan hutan bukan hanya urusan hukum, tapi juga menyangkut keadilan ekologis dan sosial. Di satu sisi, kita membutuhkan hutan sebagai penyangga kehidupan: menjaga iklim, air, udara, dan keanekaragaman hayati. Di sisi lain, masyarakat di sekitar kawasan hutan butuh penghidupan yang layak, legal, dan berkelanjutan.

Perpres 5/2025 hendaknya dipahami sebagai upaya untuk menemukan titik keseimbangan antara penegakan hukum terhadap korporasi besar dan perlindungan hak-hak masyarakat kecil. Pendekatan ini adalah bentuk keberpihakan negara terhadap kelestarian lingkungan dan keadilan bagi rakyat.

*Menangkal Hoax dan Provokasi*

Di tengah proses ini, kita juga harus mewaspadai provokasi dari kelompok tertentu, termasuk oknum ‘Pengusaha Hitam’ yang merasa terusik karena usahanya berdiri di atas lahan kawasan hutan tanpa izin yang sah. Mereka sering kali membangun narasi seolah-olah negara tengah “menindas rakyat”, padahal yang sebenarnya terjadi adalah penertiban terhadap perambahan skala besar yang merugikan negara dan lingkungan.

Opini-opini yang menggiring masyarakat untuk menolak penertiban kawasan hutan atas dasar solidaritas palsu, patut dicermati secara kritis. Jangan sampai masyarakat menjadi alat untuk melanggengkan praktik-praktik penguasaan lahan ilegal yang menguntungkan segelintir elite.

*Menatap ke Depan: Kolaborasi dan Penyadaran*

Alih-alih memicu ketegangan, Perpres ini semestinya menjadi titik tolak untuk memperbaiki tata kelola hutan secara adil, partisipatif, dan berkelanjutan. Pemerintah perlu lebih aktif menyosialisasikan isi regulasi ini secara terbuka dan menjamin bahwa pelaksanaannya di lapangan benar-benar berpihak pada rakyat.

Sebagai Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi, mengajak semua pihak—akademisi, LSM, tokoh adat, jurnalis, hingga mahasiswa—untuk ikut mencerahkan masyarakat. Jangan biarkan hoax dan kepentingan tersembunyi mengaburkan niat baik pemerintah dalam melindungi hutan kita.

Perpres 5 Tahun 2025 bukan ancaman, tapi peluang. Peluang untuk menata ulang relasi manusia dan hutan dengan cara yang lebih beradab, adil, dan lestari. Masyarakat tidak perlu takut. Sebaliknya, mari kita kawal bersama implementasinya agar tidak menyimpang dari cita-cita keadilan ekologis dan kesejahteraan rakyat.

“Menjaga hutan bukan berarti mengusir petani. Menjaga hutan berarti mengusir keserakahan.”

 

Jefri Bintara Pardede

Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi